Kamis, 25 Maret 2010

Top News Kontroversi Pemerkosaan Tahanan Wanita-Wanita & Gadis-Gadis di Irak

Pada edisi 12 Mei 2004, the Boston Globe, suratkabar harian terbesar di Boston, Massachusetts, dan New England, mengejutkan warga Amerika Serikat ketika merilis sebuah foto yang menunjukkan beberapa pria berseragam militer—yang diduga prajurit Amerika—secara beramai-ramai memperkosa perempuan—yang diduga warga Irak.


Penerbitan foto tersebut didahului sebuah konferensi pers, sehari sebelumnya, oleh Dewan Kota Boston, Chuck Turner, dan Direktur Black Community Information Center, Sadiki Kambon, yang mengaku mendapatkan lebiih daripada satu foto dari Akbar Muhammad, seorang anggota Nation of Islam (organisasi Muslim kulit hitam Amerika). Dalam pernyataannya, Turner dan Kambon memandang penting pengungkapan itu karena rakyat Amerika mempunyai hak dan kewajiban untuk melihat gambar-gambar tak senonoh tersebut.

Reaksi pun bermunculan. Jurubicara Departemen Pertahanan AS saat itu, Letnan Kolonel Joe Yoswa, menyatakan tidak dapat mengkonfirmasi keaslian foto-foto tersebut. “Terdapat banyak foto palsu yang beredar di internet,” katanya. Reaksi ekstrem datang dari harian berhaluan neokonservatif, the Wall Street Journal (WSJ), yang melemparkan tuduhan bahwa foto-foto itu disebarkan oleh kelompok-kelompok anti-Amerika. Tak cukup di situ, dalam editorialnya, WSJ juga mendiskreditkan Turner dan Kambon sebagai orang-orang rasialis[2].

Bahkan, kepada the Globe yang menulis bahwa Amerika kini adalah bagian dari lingkaran kekerasan di Irak, WSJ menulis:

“Ini benar-benar keidiotan yang mengganggu. Apa yang the Globe sebut sebagai ‘lingkaran kekerasan’ sejatinya adalah perang—sebuah perang yang Amerika terlibat di dalamnya hanya setelah musuh membunuh 3000 orang di tanah air kita.”[3]

Menerima berbagai serangan tersebut—meskipun sebenarnya the Globe tidak secara membabi-buta meyakinkan pembacanya bahwa foto itu benar adanya, tak urung the Globe pun menyampaikan permintaan maaf dan klarifikasi sehari setelahnya, “Sebuah foto pada halaman B2 kemarin tidak memenuhi standar-standar penerbitan Globe…The Globe meminta maaf atas penerbitan foto tersebut.”[4]

Satu minggu sebelum foto itu muncul ke hadapan publik Amerika, WorldNetDaily (WND), situs berita online neokonservatif, berupaya membuktikan ketidakotentikan foto-foto tersebut, yang ia temukan dimuat dalam sebuah situs milik kelompok loyalis Saddam, albasrah.net. Melalui sebuah investigasi, WND mengklaim telah berhasil menemukan bahwa sebagian besar foto itu diambil dari situs pornografi Amerika, iraqbabes.com, dan Hungaria, sexinwar.com. Kedua situs ini di-link oleh banyak situs kekerasan pornografi lainnya. Dari temuan inilah, kemudian WND berkesimpulan bahwa foto-foto itu “palsu”, dalam arti bahwa individu-individu yang tercetak di dalamnya adalah para aktor dan aktris film biru, dan bahwa semua itu diserbarluaskan sebagai propaganda Arab anti-pasukan koalisi[5].

Sejujurnya, temuan “faktual” WND bahwa foto-foto itu berasal dari situs-situs pornografi tidaklah serta-merta menggugurkan klaim akan keasliannya dan mengkonfirmasikannya sebagai alat propaganda anti-Amerika.

Beberapa kesimpulan yang berbeda masih mungkin ditarik dari temuan itu: [1] tidak sedikit situs-situs pornografi yang menampilkan insiden perkosaan riil sebagai produk-produknya[6]; [2] tidak menutup kemungkinan bahwa penyebaran foto-foto itu, baik asli maupun tidak, untuk merendahkan martabat dan kehormatan bangsa, serta menakut-nakuti para keluarga tahanan perempuan agar bekerja sama dengan pasukan koalisi[7]; [3] tidak pula mustahil foto-foto itu disebarkan untuk memprovokasi aksi-aksi perlawanan terhadap pasukan AS, yang pada gilirannya akan menjustifikasi keberadaan lebih lama militer asing di sana[8]; dan [4] bisa jadi upaya itu pun dilakukan demi membangkitkan hasrat liar para prajurit AS agar melakukan hal-hal yang ditampilkan dalam gambar-gambar itu. Indikasinya terlihat ketika foto-foto yang sama ditemukan secara merata di hampir seluruh barak prajurit AS di Irak[9].

Bagaimanapun, foto-foto itu bukanlah ‘bukti dan indikasi’ satu-satunya dari tuduhan adanya pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap tawanan perempuan Irak oleh militer AS. Terdapat banyak bukti dan indikasi lain yang jauh lebih meyakinkan dan dapat dipercaya.

Pertama, laporan Amnesty Internastional mengutip kesaksian beberapa tawanan perempuan—yang tidak ingin nama mereka disebutkan dan dalam keadaan yang sangat ketakutan—kepada para pekerja hak asasi manusia, bahwa mereka telah mengalami pemukulan, penyiksaan, dan isolasi. Sebagaimana tawanan pria, mereka juga mengalami pelecehan seksual di penjara militer Amerika itu. Nyaris semua tawanan perempuan yang bersaksi mengaku diancam akan diperkosa jika tidak mau bekerja sama. Beberapa dari mereka bahkan diinterogasi dalam keadaan telanjang dan menerima pernyataan-pernyataan yang melecehkan martabat dan kehormatan mereka sebagai perempuan dari para serdadu Amerika[10].

Kedua, lolosnya sebuah catatan seorang tahanan perempuan dari penjara di Abu Ghuraib, yang kemudian dikutip harian Inggris, the Guardian[11]. Catatan tersebut menyatakan bahwa para personil militer AS telah memperkosa tawanan-tawanan perempuan. Beberapa perempuan di antaranya kini hamil, tambah catatan itu. Para tawanan perempuan dipaksa untuk melepaskan seluruh pakaian mereka di hadapan sipir-sipir militer pria. Catatan itu, dengan putus asa, meminta agar para milisi Irak membom penjara tersebut untuk membebaskan perasaan malu para perempuan Irak.

Amal Kadham Swadi, seorang pengacara tawanan perempuan Irak, juga mengatakan kepada the Guardian, bahwa hanya seorang perempuan yang berani berbicara seputar pemerkosaan itu. “Dia (tawanan perempuan itu) menangis. Dia mengatakan kepada kami bahwa dia telah diperkosa. Beberapa serdadu Amerika telah memerkosanya. Dia berupaya melawan, dan mereka malah melukai lengannya. Dia menunjukkan kepada kami beberapa jahitan. Dia mengatakan kepada kami, ‘Kami memiliki anak perempuan dan suami. Demi Allah tolong jangan katakan kepada siapa pun tentang hal ini,” ungkap Swadi.

Ketiga, berkaitan dengan catatan dari Abu Ghuraib tersebut, banyak pihak meragukan otentisitasnya. Namun, “Taguba Report”, laporan resmi militer Amerika atas kekerasan di Abu Ghuraib, secara mengejutkan justru mengkonfirmasi bahwa catatan yang telah ditulis oleh seorang tahanan perempuan—yang dikenal hanya dengan nama “Noor”[12]—itu benar-benar akurat. Di antara 1800 foto digital yang diambil para prajurit AS dari dalam Abu Ghuraib[13], menurut “Taguba Report”, terdapat gambar-gambar yang menunjukkan seorang anggota polisi militer AS yang “berhubungan seksual” dengan seorang tawanan perempuan Irak.

Agak aneh bahwa Taguba menggunakan istilah “berhubungan seksual” dalam kaitan dengan kekerasan seksual terhadap tawanan perempuan sementara menggunakan istilah “pemerkosaan” dalam konteks kekerasan yang sama terhadap tawanan pria. Patut diingat bahwa Taguba memasukkan insiden “hubungan seksual” tersebut dalam daftar “kekerasan yang brutal, sadis, dan amoral” oleh para serdadu AS di Abu Ghuraib. Jelas mustahil bahwa apa yang dimaksud Taguba dengan “hubungan seksual” itu merujuk kepada aktivitas seksual suka sama suka, apalagi ini terkait dengan relasi antara seorang sipir dengan tawanannya.

Keempat, jurnalis kawakan Amerika, Seymour Hersh, dalam artikelnya “Chain of Command” yang mengutip salah satu kasus yang diungkap the Denver Post, menuliskan keterlibatan tiga prajurit Amerika dalam penyerangan fisik terhadap seorang tawanan perempuan Irak di Abu Ghuraib. Ketiga prajurit itu hanya dikenai denda lima ribu dolar dan diturunkan satu pangkat. Lebih jauh, Hersh menulis bahwa, menurut pengakuan sejumlah pejabat AS, terdapat foto-foto yang memperlihatkan prajurit-prajurit Amerika memukuli seorang tawanan Irak hingga meninggal, “berhubungan seksual” dengan seorang tawanan perempuan, dan memperkosa remaja-remaja Irak, dalam foto-foto yang belum, dan tampaknya tidak akan, dirilis Pentagon[14].

Kelima, the Christian Science Monitor menuliskan kisah dua orang remaja putri Irak, Farrah al-Azzawi dan Raghada Qusay, yang kedua ibu mereka ditahan di penjara Abu Ghuraib (keduanya adalah sepupu karena ibu mereka bersaudara). Mereka berdua tidak pernah berhasil bertemu ibu-ibu mereka. Namun ketika berhasil bertemu dengan paman mereka, yang juga dipenjarakan di tempat yang sama, mereka mendengar kisah yang mengerikan mengenai ibu-ibu mereka.

Sang paman menceritakan bahwa kedua ibu mereka telah dilecehkan para prajurit Amerika: dipaksa melepaskan hijab mereka, diseret dengan menarik rambut mereka, dipaksa makan dari toilet yang terlebih dulu dikencingi, dan banyak lagi bentuk penyiksaan yang kedua remaja itu tak mampu ungkapkan[15].

Masih banyak bukti dan indikasi lain yang semua itu ingin menegaskan bahwa para tawanan perempuan, sebagaimana para tawanan pria, telah menjadi korban kekerasan seksual di Abu Ghuraib. Perhatikan saja foto-foto yang telah dirilis banyak media massa: jika ritual-ritual pelecehan dan penyiksaan seperti itu saja “secara lumrah” digunakan terhadap para tawanan pria, maka para tawanan perempuan jelas lebih rentan terhadap pelecehan dan penyiksaan seksual, dan tentu saja dalam bentuk-bentuk yang nyaris tidak bisa dibayangkan.

Patut digarisbawahi pula, jika perempuan-perempuan Irak yang berada di luar penjara pun menghadapi risiko pemerkosaan oleh pasukan AS, sebagaimana yang secara biadab menimpa Abeer Qasim, maka apa yang bisa dilakukan para perempuan Irak di penjara, yang tentu saja lebih tidak berdaya lagi.

Dan, seperti ditulis seorang blogger Irak, Riverbend, “Kalian telah ‘memperkosa negeri ini, maka mengapa tidak orang-orangnya?’” (ditulis oleh Irman Abdurrahman untuk www.icc-jakarta.com).

[1]http://www.boston.com/news/local/massachusetts/articles/2004/05/12/2_cite_photos_purported_to_show_abuse/

[2] Reaksi yang terlalu berlebihan mengingat the Globe, dalam artikel yang menyertai publikasi foto itu (“Councilor Takes Up Iraq Issue”), telah menulis dengan sangat hati-hati dan berbahasa netral, “Gambar-gambar itu—yang memperlihatkan beberapa pria dengan seragam kamuflase berhubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang tidak bisa diidentifikasi—tidak mengandung karakteristik yang dapat membuktikan bahwa pria-pria itu adalah prajurit AS, atau bahwa perempuan-perempuan itu adalah orang-orang Irak.”

[3]http://www.opinionjournal.com/best/?id=110005073

[4]http://www.boston.com/news/nation/articles/2004/05/13/may_13_2004/

[5]http://www.worldnetdaily.com/news/article.asp?ARTICLE_ID=38335

[6] Ernesto Cienfuegos, editor kepala situs berita La Voz de Aztlan (‘Suara dari Aztlan’), mengungkapkan banyak foto tentang pemerkosaan perempuan Irak dan sodomisasi tawanan perang Irak di Abu Ghuraib yang kini tersebar di banyak situs pornografi Amerika Serikat. Fenomena ini mengindikasikan, masih menurut Cienfuegos, kemungkinan adanya kolusi antara para prajurit bejat Amerika, yang terekam dalam gambar-gambar itu, dengan para pelaku pornografi komersial Yahudi yang berbasis di AS. [Ernesto Cienfuegos, “Photos Show Rape of Iraqi Women by US Occupation Forces”, La Voz de Aztlan, Los Angeles, Alta California, May 2, 2004; http://www.aztlan.net/iraqi_women_raped.htm]. Perhatikan pula “Taguba Report” yang melaporkan bahwa merekam gambar—baik dalam bentuk video maupun foto—tawanan-tawanan Irak, baik pria maupun wanita, yang telanjang merupakan aktivitas rutin para personil militer AS di penjara Abu Ghuraib.

[7] Los Angeles Times, dalam laporannya “Iraq Prison Scandal; A Double Ordeal for Female Prisoners”, mengungkapkan bahwa beberapa pejabat AS mengakui bahwa memenjarakan sejumlah perempuan Irak dimaksudkan untuk ‘memeras’ keluarga pria mereka agar bekerja sama dengan pasukan koalisi dengan memberikan informasi [http://www.womenwarpeace.org/iraq/iraq.htm]. Di Irak—dan tentu saja sejumlah negeri Muslim lainnya, keberadaan perempuan di penjara sudahlah cukup menjadi aib. Sebab, sebagaimana disampaikan Yanar Mohammed, aktivis hak-hak perempuan, warga Irak mengasumsikan bahwa di penjara, setidaknya para tawanan perempuan itu telah disentuh dan diperlakukan secara tidak wajar. Apalagi, tersebarnya foto-foto tersebut, terlepas asli ataukah tidak, semakin memperkuat asumsi itu. Konsekuensinya, amat langka korban pemerkosaan yang berani membeberkan tindakan brutal yang menimpanya. Kalaupun terjadi, maka si korban akan menerima respon kultural yang lebih menyakitkan: dimarjinalkan dari keluarga dan komunitas. Bahkan, kadangkala keluarganya berupaya membunuhnya demi “mengembalikan” kehormatan nama keluarganya [http://www.csmonitor.com/2004/0528/p01s02-woiq.html]. Satu-satunya kasus pemerkosaan massal oleh prajurit AS yang terpublikasi secara detail dan luas adalah yang menimpa gadis malang berusia 14 tahun, Abeer Qasim Hamza. Dan satu-satunya alasan mengapa kasus ini muncul ke permukaan adalah bahwa seluruh keluarga inti gadis itu tewas dibantai bersama tindakan pemerkosaan itu.

[8] Tersebarnya gambar-gambar dimaksud diduga telah memicu pemenggalan kepala insinyur listrik asal AS, Nick Berg, oleh “al-Qaidah di Irak”.

[9] Seorang prajurit AS keturunan Meksiko, yang namanya tidak ingin disebutkan, mengatakan kepada La Voz de Aztlan, bahwa dia jelas-jelas melihat ribuan gambar pemerkosaan itu disirkulasikan di antara serdadu-serdadu AS layaknya kartu baseball. Sebagian besarnya telah dihancurkan ketika barak-barak militer digeledah pada akhir September 2003 [http://www.aztlan.net/iraqi_women_raped.htm].

[10] Amnesty International, “Iraq: Decades of Suffering, Now Women Deserve Better”, February 22, 2005.

[11]http://www.guardian.co.uk/women/story/0,3604,1220673,00.html

[12] Profesor Huda Shaker al-Nuami, ilmuwan politik dari Universitas Baghdad dan peneliti Amnesty International, meyakini bahwa kini perempuan yang bernama “Noor” ini telah meninggal. “Kami percaya bahwa dia telah diperkosa dan hamil karena perbuatan yang dilakukan prajurit AS itu. Setelah pembebasannya dari Abu Ghuraib, kami pergi ke rumahnya. Para tetangga mengatakan bahwa keluarganya telah pindah. Saya percaya bahwa dia telah dibunuh,” kata Shaker. Dalam investigasinya, Shaker menemukan bahwa sejumlah perempuan Irak yang diduga menjadi korban pemerkosaan serdadu Amerika banyak yang menghilang [Ibid.].

[13] Pemerintah Bush menolak untuk merilis semua foto itu, yang di antaranya menunjukkan bagaimana para tahanan perempuan Irak, di bawah todongan senjata, dipaksa untuk bertelanjang dada. Seluruh foto terkait kasus Abu Ghuraib itu sebenarnya telah dipertunjukkan kepada para anggota Kongres AS. Senator Richard J. Durbin mengatakan, “Di sana terdapat gambar-gambar yang mengerikan. Rasanya seperti anda sedang turun ke salah satu lingkaran neraka, dan celakanya itu adalah ciptaan kita sendiri.” Anggota House, Martin T. Meehan mengatakan, “Saya sungguh terguncang dan jijik ketika mendapati bahwa foto-foto yang baru itu jauh lebih mengerikan ketimbang yang telah kita lihat di media-media massa. Anggota-anggota Kongres yang lain, setelah melihat semua foto itu, mengatakan bahwa mereka melihat foto yang menunjukkan perempuan Irak yang ditampilkan telanjang, dimana dada serta bagian-bagian tubuh pribadi mereka tak tertutupi sehelain benang pun (http://www.aztlan.net/worst_photos_not_released.htm].

[14] Seymour M. Hersh, “Chain of Command”, The New Yorker, May 17, 2004.