Rabu, 03 Juni 2009

Pemerkosaan: Senjata Perang Kongo



Eric Beauchemin . 10-12-2007 . Pemerkosaan dan kejahatan sexual lain hari-hari ini merupakan senjata dalam perang yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, DRC. Ini sebenarnya juga sudah terjadi semasa genosida Rwanda tahun 1994. Dampaknya bagi kaum perempuan dan masyarakat sangatlah mengerikan.


Diperkirakan seperempat juta perempuan diperkosa atau menjadi korban penganiayaan sexual selama berlangsung genosida 100 hari pada tahun 1994 di Rwanda. Sementara di Republik Demokratik Kongo, tidak seorang pun tahu jumlah perempuan korban perkosaan, penganiayaan, mutilasi atau budak sex, sejak pecahnya pertikaian 1996.

Dampaknya Mengerikan
Bagi banyak korban, akibat utama kejahatan sexual adalah masalah kesehatan. Korban seringkali menderita penyakit menular akibat hubungan sexual, termasuk HIV dan Aids. Tahun 2003, pelbagai organisasi hak-hak azasi manusia di Republik Demokratik Kongo melaporkan, menulari orang lain dengan penyakit seks atau HIV kadang-kadang merupakan tujuan perkosaan.


Dr. Jonathan Lusy

Banyak perempuan juga menderita fistula, yaitu lubang-lubang pada kandung kemih, menyebabkan air kencing atau kotoran secara tak terkendali keluar dari vagina. Dr. Jonathan Lusy bertahun-tahun mengoperasi korban perkosaan, di Rumah Sakit DOCS Goma, Republik Demokratik Kongo Timur. Ia mengatakan:

"Semula kami pikir lubang-lubang itu terjadi karena proses melahirkan tanpa bimbingan. Tapi tidak lama kemudian kami sadar bahwa ketika lima atau enam laki-laki memperkosa seorang perempuan, mereka merusak jaringan urat dalam lubang kemaluan perempuan."
Para korban sering ditolak keluarga mereka maupun masyarakat. Banyak orang tidak mau tahu soal kejahatan sexual, ujar penulis dan psikolog Rwanda, Esther Mujawayho, yang juga merupakan korban genosida Rwanda. "Ketika kami mulai mengungkapkan apa yang telah terjadi pada kami, mereka berkata: 'Ya Tuhan. Sudah, tutup mulut saja! Diam! Itu terlalu mengerikan!"

Pengucilan perempuan seringkali mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat. Pengucilan perempuan tersebut juga membawa dampak ekonomi, tandas Venantie Bisimwa, sekretaris eksekutif Jaringan Perempuan bagi Pembelaan Hak dan Perdamaian di Bukavu bagian Timur Republik Demokratik Kongo. "Perempuan korban perkosaan jatuh sakit dan depresif. Mereka berhenti bekerja, jadi tanah mereka ditelantarkan. Mereka tidak lagi berjualan di pasar, karena di situlah terjadinya serangan dan perkosaan. Ini tentu sangat merugikan situasi keuangan keluarga mereka."


Jolly Kamuntu

Buka Mulut
Perlahan-lahan perempuan Kongo mulai berani buka mulut soal kejahatan sexual ini. Jolly Kamuntu, wartawan yang bekerja bagi stasiun radio lokal di Republik Demokratik Kongo Timur, mengatakan: "Kami, jurnalis perempuan mulai mendapati bahwa perempuan diperkosa di depan suami mereka. Pelakunya berkata kepada sang suami: 'Lihat saja apa yang kami lakukan terhadap perempuan kalian'. Si suami tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah perkosaan, suami menolak isterinya, walaupun tidak berbuat apa pun untuk melindungi si istri."

Para jurnalis perempuan ini memutuskan memberi kesempatan kepada korban perkosaan untuk, lewat radio, menuturkan kejahatan yang mereka alami. Kesaksian mereka membangkitkan kesadaran masyarakat Republik Demokratik Kongo tentang masalah kekerasan sexual. Tahun 2005, parlemen Kongo, dalam undang-undang dasar baru, menganggap pemerkosaan sebagai kejahatan. Ini merupakan kemenangan besar yang sudah lama kami perjuangkan, demikian Zita Kavungirwa, pemimpin Rapat Perempuan untuk Perdamaian Bukavu.

Pelbagai tribunal militer kini mulai mengadili dan memvonis perwira militer yang dituduh melakukan perkosaan. Tahun 2006, Republik Demokratik Kongo memberlakukan undang undang baru terhadap kejahatan sexual, termasuk hukuman lebih berat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban.